Hari demi hari terasa seperti perlombaan melawan waktu, namun garis finisnya tak terlihat, hanya meninggalkan jejak kelelahan yang semakin dalam. Meski kondisi Bapak tidak kunjung membaik, aku tidak berhenti berusaha. Apa pun yang bisa kulakukan, aku lakukan—mulai dari memberikan obat sesuai jadwal, memastikan oksigen terus mengalir, memeriksa saturasi oksigen secara berkala, hingga mencoba mencari bantuan ke rumah sakit. Tapi dunia terasa begitu sempit, dan setiap jalan seperti buntu.
Setiap kali aku membujuk Bapak untuk makan, yang kudapatkan hanya penolakan. Lidahnya menolak rasa, tubuhnya menolak tenaga. Kadang, saat berhasil kusuapi satu-dua suapan, makanan itu disemburkan kembali, keluar bersama rintihannya yang memecah hatiku. Yang masih sanggup Bapak lakukan hanyalah meminum air putih. Setiap jam, ia memanggilku, meminta air dalam nada lemah yang hampir tak terdengar. Dulu ia masih bisa memegang gelas sendiri, tapi kini hanya bisa aku suapi dengan sendok. Setiap suapan itu, kecil dan perlahan, terasa seperti perjuangan besar baginya—dan bagiku, itu adalah langkah kecil untuk menjaga harapan yang semakin pudar.
Aku tahu, jauh di lubuk hati, Bapak membutuhkan ruang ICU dengan segala peralatan medis yang memadai. Aku tahu, hanya itu yang bisa memberinya peluang untuk bertahan. Tapi di luar sana, kenyataan berbicara lain. Telepon demi telepon yang kuangkat, dari rumah sakit dalam kota hingga ke rumah sakit di luar kota, semuanya memberikan jawaban yang sama—kamar penuh, pasien membludak, kami tak sanggup lagi menampung. Aku merasa seperti berteriak di jurang kosong; semua usahaku hanya berbalik menjadi gema tanpa jawaban. Dalam keputusasaan itu, aku dipaksa untuk berjuang sendiri, tanpa dukungan fasilitas yang sebenarnya Bapak butuhkan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk belajar. Aku mempelajari satu per satu cara menggunakan alat-alat medis sederhana di rumah—cara mengecek suhu tubuh, cara membaca kadar oksigen dalam darah, cara memasang oksigen agar alirannya stabil. Aku menghabiskan waktu mencari informasi di internet, membaca artikel dan menonton video yang menjelaskan segala sesuatu tentang cara merawat pasien COVID-19 di rumah. Semua itu kulakukan meski tubuhku sendiri sudah terasa rontok, tenaga nyaris habis, dan pikiranku terus dihantui bayangan terburuk. Tapi aku tidak peduli. Bapak harus sembuh, itu saja yang memenuhi pikiranku.
Di desa kami, situasi semakin mengerikan. Pengumuman kematian terdengar setiap hari, seperti gema yang tak pernah putus. Aku yang dulu berpikir bahwa desa adalah tempat aman, jauh dari wabah ini, kini sadar betapa keliru anggapan itu. Begitu satu orang terinfeksi, wabah ini menyebar seperti api yang tak terkendali. Desa yang dulu terasa damai kini dipenuhi oleh duka dan ketakutan. Tidak ada lagi tempat yang benar-benar aman.
Di tengah semua ini, hanya kepada Allah aku berlari. Di akhir sholatku, aku merintih dalam doa, mengadukan segala lelah, segala kesedihan, dan segala ketidakberdayaan. Aku memohon, bahkan merayu, agar Allah memberikan kesembuhan untuk Bapak. Aku rela menukar apa saja—amal-amalku, kebahagiaanku, bahkan nyawaku sendiri—jika itu bisa membuat Bapak kembali sehat seperti dulu. Aku berharap, berharap sekuat tenaga, meski di dalam hati aku tahu Allah punya ketetapan lain yang tak bisa kubolak-balik.
Air mata jatuh tanpa henti, mengalir membasahi sajadah tempatku bersujud. Aku berusaha keras menahan isak, takut suara tangisku membangunkan yang lain. Tapi hatiku sudah terlalu penuh, dan tangisan itu akhirnya meledak juga. Dalam sunyi malam, aku meratap kepada Tuhan, memohon agar semua ini hanyalah mimpi buruk. Aku memejamkan mata erat-erat, berharap bahwa saat kubuka nanti, aku akan terbangun di pagi yang cerah, mendengar suara Bapak memanggil namaku seperti dulu. Tapi aku tahu ini bukan mimpi, dan kenyataan itu menghantamku seperti gelombang besar yang tak bisa kuhindari.
Dalam lelah yang tak tertahankan, aku hanya bisa memohon kepada-Nya, sambil menggenggam harapan yang terasa rapuh. Rasanya seperti berjalan di atas tali yang tipis, di atas jurang yang dalam. Tapi aku tetap berjalan, karena aku tidak punya pilihan lain. Aku hanya ingin Bapak sembuh, meskipun dunia terus berkata sebaliknya.
0 komentar:
Posting Komentar