Sudah lebih dari tiga tahun berlalu sejak Bapak dipanggil ke haribaan Ilahi, meninggalkan kami dalam duka yang tak kunjung pudar. Banyak yang mengatakan bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya, tapi bagiku, waktu hanya menyisakan rasa perih yang tak pernah benar-benar hilang. Setiap momen yang kulewati membawa kembali ingatan akan perjuangan Bapak, hari-hari terakhir yang kami lalui bersamanya, dan betapa hancurnya hati ini ketika akhirnya Bapak pergi. Rasanya seperti kemarin, saat aku melihatnya terbaring tak berdaya, ketika suaranya pelan dan penuh kesakitan masih bergema di telingaku. Kini, Bapak telah pergi, namun setiap kenangan bersamanya terasa seakan hidup, berdenyut di dalam dadaku, meninggalkan rasa sesak yang tak terelakkan.
Hidup tetap berjalan, meski dalam hati selalu ada perasaan kosong yang mengiringi langkah kami. Ibu, seperti halnya aku, perlahan belajar menerima kenyataan pahit ini. Kulihat betapa ia berusaha bangkit, tapi ada saat-saat di mana duka tak mampu ia sembunyikan. Di malam-malam sunyi, sering kudengar Ibu sesenggukan, tangisnya pelan namun menusuk, memanggil nama Bapak dalam kerinduan yang mungkin tak akan pernah terjawab. Kadang, Ibu memutar rekaman suara Bapak di ponselnya sebelum tidur, seolah-olah suara itu bisa mengobati kesepian yang mendalam. Dan di saat seperti itu, aku merasa jantungku terhimpit, melihat bagaimana kehilangan itu menghancurkan seorang wanita yang kutahu sangat kuat.
Sedangkan aku, berbeda caranya. Di mata orang lain, mungkin aku terlihat tegar, seolah bisa melanjutkan hidup tanpa terguncang. Tapi dalam sepi, hanya aku yang tahu bagaimana luka ini menggurat begitu dalam. Aku seperti gadis kecil yang berusaha tetap berdiri tegak, memegang erat setiap sisa kenangan, tapi hatiku rapuh. Terkadang, aku menghindari segala yang berhubungan dengan Bapak—sebuah upaya yang entah bagaimana membuatku merasa tidak perlu menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan. Foto-fotonya jarang kutatap; rekaman suaranya kuhindari, bahkan rute-rute yang biasa kami lewati bersama kini kutinggalkan. Bagi orang lain mungkin ini tampak seperti melupakan, tetapi sesungguhnya, ini adalah caraku untuk bertahan.
Ada pepatah yang mengatakan, bahwa patah hati terbesar bagi seorang anak perempuan adalah saat ayahnya pergi meninggalkannya. Mungkin benar, karena seperti cinta pertama, rasa kehilangan ini meninggalkan luka yang sepertinya tak akan pernah sepenuhnya pulih. Meski tak kuakui pada siapa pun, Bapak adalah kekuatanku, sosok yang menjadi penuntun di tiap langkahku. Sekarang, kepergiannya membuatku merasa kehilangan arah. Aku mencoba menganggap bahwa ini hanyalah hubungan jarak jauh. Seperti saat aku berpisah untuk menuntut ilmu di pondok atau saat aku kuliah dulu, aku berpura-pura seakan kami hanya terpisah oleh jarak, bukan oleh dunia yang berbeda.
Namun, kondisi penyangkalan ini pun tak sepenuhnya membantu. Ada saat-saat di mana aku merasa tenggelam dalam keheningan yang begitu menyesakkan. Lagu-lagu tentang perpisahan bahkan tak mampu kusuarakan, liriknya terlalu mengoyak hati. Tapi aku sadar, bahwa aku tak bisa terus bersembunyi dari kenyataan. Bapak telah pergi, dan aku, bersama Ibu, harus melanjutkan hidup yang tersisa. Kadang, kulihat Ibu kembali terjatuh dalam kesedihan, tubuhnya lunglai seakan tak mampu berdiri tegak. Di momen-momen itu, kutemukan alasan untuk tetap kuat, meski setiap langkah begitu berat.
Keyakinan bahwa Tuhan takkan memberi ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya menjadi peganganku. Walau rasa rindu ini tak akan pernah hilang, dan setiap hari terasa seperti perjuangan yang tak berakhir, aku tahu bahwa di balik setiap luka dan kesedihan ini, ada kekuatan yang tumbuh dalam diam. Kekuatan untuk bangkit, menjaga Ibu, dan menjalani hidup dengan harapan, bahwa suatu saat nanti, aku akan bertemu Bapak lagi dalam dunia yang berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar