Badai tidak pernah benar-benar berlalu, ia hanya menyisakan puing-puing untuk dihantam badai berikutnya. Seperti itulah hidup, selalu meminta kita bersiap meski sering tanpa aba-aba. Kepergian Bapak adalah luka panjang yang enggan sembuh, seolah mencengkeram setiap sudut kenangan dengan cakar-cakar tajamnya. Hari itu, kabar duka datang seperti petir di siang bolong, memecah langit keluarga kami menjadi retakan-retakan kesedihan yang tak terperi. Desa kami bergemuruh dengan isu, bukan hanya tentang kepergiannya, tetapi juga penyebab yang menyertainya. Covid, kata itu bergema dalam setiap bisik-bisik tetangga, memecah desa kecil kami menjadi dua kubu: mereka yang percaya Covid dan mereka yang tidak percaya.
Bapak adalah sosok yang hati-hati, taat pada aturan, dan tak pernah lupa mengenakan masker saat keluar rumah. Tapi, seperti yang sering terjadi, sebuah kelengahan kecil mampu meruntuhkan benteng seteguh apapun. Saat lebaran, saat kebahagiaan menggoda untuk berbagi lebih dari sekadar senyum, bapak menghadiri kondangan yang ramai. Aku pun sama, terlalu percaya diri bahwa semuanya sudah membaik. Aku abai, lupa mengingatkan, lupa menjaga. Kini, penyesalan itu menggerogoti jiwaku, membuat rasa bersalahku tumbuh seperti parasit, tak henti mengingatkan bahwa aku juga turut andil dalam kehilangan ini.
Kepergian Bapak kami simpan rapat-rapat dari Nenek, yang tinggal jauh di desa lain. Alasan kami sederhana, tetapi sarat kerumitan: kami takut membuatnya syok. Setiap video call dengan Nenek menjadi panggung drama penuh kepura-puraan. Ibu, dengan wajah yang selalu tampak tegar, menyembunyikan air mata yang sesekali jatuh tak tertahan. “Bapak kemana?” tanya Nenek, suaranya penuh kekhawatiran. Ibu selalu berusaha menjawab dengan nada ceria yang dipaksakan, “Dia sedang keluar sebentar, Nek. Nanti kami sampaikan salamnya.”
Hari-hari itu terasa berat. Kami tahu tak selamanya rahasia ini bisa dipertahankan, tetapi ketakutan lebih besar melumpuhkan langkah kami. Dalam isolasi rumah yang dingin dan hening, aku sibuk merapikan kepingan-kepingan kehilangan yang berserakan di hatiku. Ibu, meski tampak sibuk mencoba melupakan kesedihannya dengan berbagai kegiatan, seringkali tertangkap oleh momen-momen hening yang berujung pada isak tangis. Kakak keduaku berbeda; dia seolah menerima kenyataan bahkan jauh sebelum semuanya terjadi. Ketegasannya, meski terlihat melegakan, sering terasa seperti duri bagiku. Dia bisa dengan mudah menceritakan ulang apa yang terjadi saat Bapak meninggal, detail demi detail yang bagiku seperti belati yang menusuk luka lama.
Aku memilih menghindar setiap kali percakapan itu muncul. Bagiku, mengenang adalah merelakan hatiku kembali diiris perlahan. Ketidakberdayaanku saat itu menjadi bayangan kelam yang terus menghantuiku, memaksaku bertanya-tanya: andai aku lebih waspada, andai aku lebih peduli, apakah semua ini bisa berbeda?
0 komentar:
Posting Komentar