Senin, 02 Desember 2024

Awal Mula - Part 10

Badai tidak pernah benar-benar berlalu, ia hanya menyisakan puing-puing untuk dihantam badai berikutnya. Seperti itulah hidup, selalu meminta kita bersiap meski sering tanpa aba-aba. Kepergian Bapak adalah luka panjang yang enggan sembuh, seolah mencengkeram setiap sudut kenangan dengan cakar-cakar tajamnya. Hari itu, kabar duka datang seperti petir di siang bolong, memecah langit keluarga kami menjadi retakan-retakan kesedihan yang tak terperi. Desa kami bergemuruh dengan isu, bukan hanya tentang kepergiannya, tetapi juga penyebab yang menyertainya. Covid, kata itu bergema dalam setiap bisik-bisik tetangga, memecah desa kecil kami menjadi dua kubu: mereka yang percaya Covid dan mereka yang tidak percaya.

Bapak adalah sosok yang hati-hati, taat pada aturan, dan tak pernah lupa mengenakan masker saat keluar rumah. Tapi, seperti yang sering terjadi, sebuah kelengahan kecil mampu meruntuhkan benteng seteguh apapun. Saat lebaran, saat kebahagiaan menggoda untuk berbagi lebih dari sekadar senyum, bapak menghadiri kondangan yang ramai. Aku pun sama, terlalu percaya diri bahwa semuanya sudah membaik. Aku abai, lupa mengingatkan, lupa menjaga. Kini, penyesalan itu menggerogoti jiwaku, membuat rasa bersalahku tumbuh seperti parasit, tak henti mengingatkan bahwa aku juga turut andil dalam kehilangan ini.

Kepergian Bapak kami simpan rapat-rapat dari Nenek, yang tinggal jauh di desa lain. Alasan kami sederhana, tetapi sarat kerumitan: kami takut membuatnya syok. Setiap video call dengan Nenek menjadi panggung drama penuh kepura-puraan. Ibu, dengan wajah yang selalu tampak tegar, menyembunyikan air mata yang sesekali jatuh tak tertahan. “Bapak kemana?” tanya Nenek, suaranya penuh kekhawatiran. Ibu selalu berusaha menjawab dengan nada ceria yang dipaksakan, “Dia sedang keluar sebentar, Nek. Nanti kami sampaikan salamnya.”

Hari-hari itu terasa berat. Kami tahu tak selamanya rahasia ini bisa dipertahankan, tetapi ketakutan lebih besar melumpuhkan langkah kami. Dalam isolasi rumah yang dingin dan hening, aku sibuk merapikan kepingan-kepingan kehilangan yang berserakan di hatiku. Ibu, meski tampak sibuk mencoba melupakan kesedihannya dengan berbagai kegiatan, seringkali tertangkap oleh momen-momen hening yang berujung pada isak tangis. Kakak keduaku berbeda; dia seolah menerima kenyataan bahkan jauh sebelum semuanya terjadi. Ketegasannya, meski terlihat melegakan, sering terasa seperti duri bagiku. Dia bisa dengan mudah menceritakan ulang apa yang terjadi saat Bapak meninggal, detail demi detail yang bagiku seperti belati yang menusuk luka lama.

Aku memilih menghindar setiap kali percakapan itu muncul. Bagiku, mengenang adalah merelakan hatiku kembali diiris perlahan. Ketidakberdayaanku saat itu menjadi bayangan kelam yang terus menghantuiku, memaksaku bertanya-tanya: andai aku lebih waspada, andai aku lebih peduli, apakah semua ini bisa berbeda?

Related Posts:

  • Menebus Sembuh - Part 8Hari demi hari terasa seperti perlombaan melawan waktu, namun garis finisnya tak terlihat, hanya meninggalkan jejak kelelahan yang semakin dalam. Meski kondisi Bapak tidak kunjung membaik, aku tidak berhenti berusaha. Apa pun… Read More
  • Kehidupan Pasca Pandemi - Part 9Hidup setelah pandemi ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Dunia bergerak, tapi entah kenapa, aku merasa tertinggal di suatu tempat yang tak pernah kukenal sebelumnya. Banyak orang kehilangan pekerjaannya, dipecat tanpa a… Read More
  • Siap merawat - Part 6Minggu, 27 Juni 2021Pagi itu, terasa sunyi dan penuh ketegangan yang menyelinap di antara helaan nafasku. Saat kubuka mata, sekilas aku berharap pagi ini akan memberikan sedikit harapan, bahwa mungkin hari ini akan lebih baik… Read More
  • Melanjutkan HidupSudah lebih dari tiga tahun berlalu sejak Bapak dipanggil ke haribaan Ilahi, meninggalkan kami dalam duka yang tak kunjung pudar. Banyak yang mengatakan bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya, tapi bagiku, waktu hanya menyis… Read More
  • Aku Tertular - Part 7Hari-hari berlalu begitu cepat, namun setiap menitnya terasa seolah membawa beban yang tak tertahankan di kepala. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus menekan—berat, penuh, nyaris membuatku kehilangan daya. Di situasi seper… Read More

0 komentar:

Posting Komentar