Rabu, 27 November 2024

Kehidupan Pasca Pandemi - Part 9

Hidup setelah pandemi ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Dunia bergerak, tapi entah kenapa, aku merasa tertinggal di suatu tempat yang tak pernah kukenal sebelumnya. Banyak orang kehilangan pekerjaannya, dipecat tanpa ampun. Beberapa kehilangan lebih dari itu—keluarga, teman terdekat, bagian dari jiwa mereka. Tapi siapa yang pernah benar-benar menggali sisi ini? Siapa yang bertanya bagaimana seseorang bertahan secara mental di tengah pandemi yang mengguncang dunia?

Orang-orang berlomba-lomba mengejar apa yang hilang. Mereka sibuk menggali sumber penghidupan baru, mencoba mengisi kekosongan dengan kesibukan. Namun, di antara semua keramaian itu, ada juga yang kehilangan arah. Kehilangan... jiwa.

Dan aku? Ah, aku hanya kembali menjalani rutinitas, mencoba menyulam kehidupanku yang caruk-maruk. Dua tahun lamanya aku bergelut dengan keping-keping yang berantakan. Tapi tidak, pekerjaan tidak membuatku sembuh lebih cepat. Justru aku semakin tidak suka bertemu orang. Sekedar menyapa dengan senyum yang terasa kaku, basa-basi yang kosong. "Tidak apa-apa," kataku setiap kali seseorang bertanya, menyembunyikan luka yang kerap datang, seolah memaksa diriku percaya bahwa semuanya baik-baik saja.

Padahal, aku tahu, aku tidak baik-baik saja. Aku hanya bingung harus berkata apa, dan kepada siapa. Rasanya, aku sendirian.

Dua tahun aku terjebak dalam putaran pertanyaan yang sama. Apakah ini bentuk penolakanku? Ataukah ini trauma yang diam-diam menyelubungiku? Aku sering menyalahkan diriku sendiri. Kalau saja aku... Andai saja aku... Harusnya aku... Kata-kata itu seperti duri yang terus menusuk. Mungkin, jika aku lebih sigap, ayahku masih akan ada di sini.

Pertanyaan-pertanyaan itu berubah menjadi labirin tanpa jalan keluar. Aku mulai mempertanyakan hal-hal yang tak pernah kusentuh sebelumnya. Tentang takdir. Tentang roh. Di mana roh orang yang sudah meninggal? Apa yang terjadi pada mereka setelah tubuh mereka tak lagi bergerak? Aku bertanya-tanya, berkali-kali, meski tak ada yang mampu memberiku jawaban.

Di satu sisi, aku merasa seperti melawan takdir. Di sisi lain, aku merasa seperti anak kecil yang ingin tahu bagaimana Tuhan mengatur dunia ini, manusia-manusia ini, dan semua rasa kehilangan yang menyertainya.

Tidak ada yang tahu isi kepalaku. Tidak ada yang tahu badai yang kuhadapi. Pandemi telah berlalu, tapi aku? Rasanya, aku masih terjebak di dalamnya.

Related Posts:

  • Menebus Sembuh - Part 8Hari demi hari terasa seperti perlombaan melawan waktu, namun garis finisnya tak terlihat, hanya meninggalkan jejak kelelahan yang semakin dalam. Meski kondisi Bapak tidak kunjung membaik, aku tidak berhenti berusaha. Apa pun… Read More
  • Awal Mula - Part 10Badai tidak pernah benar-benar berlalu, ia hanya menyisakan puing-puing untuk dihantam badai berikutnya. Seperti itulah hidup, selalu meminta kita bersiap meski sering tanpa aba-aba. Kepergian Bapak adalah luka panjang yang e… Read More
  • Melanjutkan HidupSudah lebih dari tiga tahun berlalu sejak Bapak dipanggil ke haribaan Ilahi, meninggalkan kami dalam duka yang tak kunjung pudar. Banyak yang mengatakan bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya, tapi bagiku, waktu hanya menyis… Read More
  • Aku Tertular - Part 7Hari-hari berlalu begitu cepat, namun setiap menitnya terasa seolah membawa beban yang tak tertahankan di kepala. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus menekan—berat, penuh, nyaris membuatku kehilangan daya. Di situasi seper… Read More
  • Kehidupan Pasca Pandemi - Part 9Hidup setelah pandemi ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Dunia bergerak, tapi entah kenapa, aku merasa tertinggal di suatu tempat yang tak pernah kukenal sebelumnya. Banyak orang kehilangan pekerjaannya, dipecat tanpa a… Read More

0 komentar:

Posting Komentar