Hari-hari berlalu begitu cepat, namun setiap menitnya terasa seolah membawa beban yang tak tertahankan di kepala. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus menekan—berat, penuh, nyaris membuatku kehilangan daya. Di situasi seperti ini, aku tahu betul aku butuh stamina dan imunitas yang baik, tapi seiring malam itu merayap semakin larut, tubuhku akhirnya menyerah. Di tengah keheningan yang mencekam, di antara kesibukan merawat Bapak yang kian lemah, aku merasakan tubuhku menggigil hebat. Dingin itu menggigit hingga ke tulang, menyelinap masuk seolah melewati lapisan terdalam kulit. Kamarku tak ber-AC, bahkan kipas angin pun tak menyala, tapi aku tak pernah merasa kedinginan sedahsyat ini sebelumnya. Aku mulai panik, bertanya dalam hati apa yang tengah terjadi pada tubuhku, sementara di luar dinding kamar hanya ada sunyi dan malam yang kian pekat.
Dengan tubuh lemas yang serasa kehabisan energi, aku meraba-raba mencari selimut di lemari, berusaha membungkus diri sebaik mungkin dalam balutan hangat yang terasa tipis di tengah gempuran rasa dingin yang tak wajar ini. Kantuk yang semula kutahan seolah menyeretku perlahan ke dalam tidur, membuatku terlelap tak jauh dari posisi Bapak, hanya berjarak satu setengah meter, cukup dekat untuk segera mendekatinya jika ia butuh sesuatu. Kadang di tengah malam ia memanggil minta minum, atau sekadar meminta diselimuti lebih rapat, dan aku selalu berusaha ada di sisinya secepat mungkin, meski rasa lelah ini kadang begitu mengguncang.
Ketika aku akhirnya merasakan tidur mulai merambat pelan-pelan, tiba-tiba sebuah suara membuyarkan semua, membangunkanku dalam kejut yang membuat jantung berdebar.
“Dek, oksigennya lepas. Tolong bantu pasang lagi,” ucap Kakak dengan nada tegas namun cemas.
Mata yang masih berat berusaha kubuka penuh. Suara kakakku membuatku tersentak, kembali ke realitas dingin dan lelah yang menusuk seluruh tubuh. Aku tergopoh bangun, berjuang melawan nyeri yang menjalar di sekujur badan, menggigil lagi sembari menyeret langkah mendekati Bapak untuk memastikan oksigennya terpasang dengan benar. Sudah jadi kesepakatan kami membagi tugas dalam kondisi genting ini—aku yang bertanggung jawab atas perawatan langsung Bapak, sementara Kakak menangani segala mobilitas dan hal-hal lainnya di luar rumah. Ibu? Kami usahakan agar ia hanya terlibat seminimal mungkin, menyiapkan makanan dari kejauhan, agar setidaknya satu dari kami tetap sehat.
Usai memastikan oksigen Bapak terpasang dengan baik, kutatap wajahnya yang tampak tenang meski lemah, seolah tak sadar betapa semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dalam kepayahan, aku melangkah kembali ke kamar, berusaha mencari posisi nyaman meski rasa sakit dan dingin masih menghantui setiap sendi. Tubuhku rasanya remuk, seakan seluruh kekuatanku dihisap habis tanpa sisa. Di ambang tidur, aku hanya bisa berdoa—berharap pada pagi yang tak terlalu jauh, pada rasa segar yang mungkin bisa memberiku secercah kekuatan untuk kembali melanjutkan semua ini.
Namun, harapan itu pupus ketika pagi tiba. Alih-alih membaik, kondisiku justru semakin terpuruk. Kakiku nyaris tak bisa digerakkan, sakit menyengat tiap kali kupaksa untuk melangkah. Namun begitu, aku tidak berhenti. Ini bukan hanya soal rasa sakit, tapi soal tanggung jawab yang tak bisa kutinggalkan. Aku hanya bisa tersenyum ketika Ibu melihatku dan bertanya apakah aku baik-baik saja. Tak ada pilihan untuk mengeluh; siapa lagi yang akan menjaga Bapak jika aku tak mampu? Pada akhirnya, kami hanyalah orang sakit yang mencoba merawat yang lebih sakit, bertahan di tengah wabah yang kejam, berusaha melawan kehancuran yang seolah mengintai dari setiap sudut rumah kami.
0 komentar:
Posting Komentar