Setelah menyuapi Bapak dengan bubur yang kupesan lewat aplikasi, aku menyaksikan betapa lemah kondisinya. Ia hanya sanggup menelan tiga sendok bubur, lalu tampak begitu kelelahan. Hati ini mencelos, terlebih ketika Bapak berulang kali meminta infus. Aku tak paham kenapa pihak rumah sakit tak mau memberikannya—mungkin karena aturan ketat, atau ketakutan akan risiko, entahlah. Bapak merasa kelelahan setelah diare yang tak kunjung reda, wajahnya terus merintih memohon agar diberi infus, mungkin hanya itu yang ia harapkan bisa membuat tubuhnya sedikit lebih kuat.
Kakak dan Ibu tak bisa lagi menahan diri. Mereka mendekati tenaga medis dengan nada memelas, memohon agar Bapak diizinkan mendapatkan infus, meskipun hanya sebentar. Entah karena rasa iba atau terpaksa, akhirnya mereka mengabulkan permintaan itu, tapi dengan syarat tegas—jika ada hal buruk terjadi, maka itu di luar tanggung jawab rumah sakit. Dengan penuh rasa khawatir, kami mengiyakan, hanya ingin Bapak sedikit lebih baik, walau sejenak saja.
Setelah infus membantu Bapak sedikit bertenaga, kami akhirnya harus meninggalkan rumah sakit jam sepuluh malam. Harapan awal kami untuk membawa infus yang masih tersisa di botol itu pupus, karena aturan rumah sakit mengharuskan infus dilepas sebelum pulang. Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, mengapa aturan soal infus begitu rumit, dan mengapa semuanya terasa sangat menantang ketika kami sedang begitu membutuhkan. Tak sadar, pertanyaan itu berputar di kepalaku, menambah beban yang sudah sesak dalam dada.
***
Dalam perjalanan pulang, perasaan lelah, sedih, dan takut bercampur jadi satu. Aku terus berpikir, bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya, bagaimana aku dan keluarga bisa merawat Bapak di rumah dengan segala keterbatasan kami. Apa Bapak bisa benar-benar sembuh jika hanya dirawat seadanya di rumah? Aku mencoba menghalau pikiran-pikiran gelap, namun rasanya tak sanggup menenangkan diri.
Ketika jarum jam menyentuh pukul dua belas malam, kami tiba di rumah. Suasana desa sunyi senyap, hanya derik serangga malam yang terdengar samar di kejauhan. Rumah kami yang biasanya terasa hangat, kini begitu senyap, namun penuh kegetiran. Dengan susah payah, kami membopong Bapak yang lemah ke kamar, mencoba menempatkannya di ruangan yang memiliki sirkulasi udara paling baik. Matanya masih terpejam, napasnya pelan, dan bibirnya tampak meringis menahan sakit yang hanya ia sendiri yang tahu.
Kami berusaha keras memberikan yang terbaik, meski kami tahu ini semua tak mudah. Dari rumah sakit, kami hanya diberikan beberapa obat yang katanya bisa membantu. Di tangan kami kini ada Amplodipin, Diatab, Privavit, Azithromycin, dan Ranitidin. Aku mencoba mengingat nama-nama itu, meski tak tahu seberapa besar mereka bisa membantu Bapak untuk pulih kembali.
Malam itu, setelah menyiapkan semua yang bisa kami lakukan, aku dan keluarga akhirnya mencoba beristirahat, dalam keadaan yang jauh dari kata tenang. Di sela lelahku, aku hanya berharap Bapak bisa beristirahat dengan lebih nyaman, dan aku berdoa, agar esok hari membawa kabar yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar