Selasa, 24 Agustus 2021

Kecewa - Part 4

Di IGD Rumah Sakit Islam, kami disambut oleh tim medis yang bergerak cepat, membawa Bapak masuk dengan penuh kehati-hatian. Para tenaga medis mengenakan APD lengkap, terlihat tegas namun tak berwajah, hanya mata mereka yang memancarkan keteguhan, meski lelah juga tergurat samar. Salah satu perawat menjepitkan alat kecil di jari Bapak, alat untuk mengukur saturasi oksigen, katanya. Bapak segera diberi oksigen, sementara tekanan darahnya diperiksa, lalu satu lagi tes swab dilakukan. Di sini, suasana terasa lebih genting, dan rasa was-was semakin merayapi kami.


Hasil tes menunjukkan dua garis: positif. Aku menahan napas. Di tengah kepanikanku, perawat memberitahukan bahwa semua kamar untuk pasien Covid sudah penuh. Kakakku tak menyerah, memohon agar Bapak setidaknya bisa tetap dirawat sementara di IGD atau diberikan perawatan maksimal. Namun, aturan ketat menghalangi harapan kami.


Meski begitu, melihat Bapak mendapat oksigen, ada sedikit kelegaan dalam dadaku. Aku melangkah keluar ruangan, tubuh terasa semakin berat oleh kelelahan dan perasaan tak menentu. Di kursi tunggu, Ibu duduk melamun, wajahnya kosong, sorot matanya memancarkan lelah yang tak bisa disembunyikan.


“Bu, nggak mau makan dulu?” tanyaku lembut. “Nasi bungkus yang aku beli belum Ibu makan kan?”


“Ah, Ibu nggak ada nafsu, Nak…”


“Gak apa-apa, Bu, dipaksa aja ya. Jangan sampai Ibu ikut sakit. Aku ambilkan nasinya, ya.”


Dengan langkah yang sedikit lunglai, aku berjalan ke arah parkir mobil. Pikiranku melayang, lelah sekali rasanya, seolah tubuh ini memikul beban berlipat-lipat. Di jam sore seperti ini biasanya aku tengah istirahat, bersandar di kasur kost yang nyaman. Tapi sekarang, di sinilah aku—berjuang untuk memastikan Bapak baik-baik saja. Kuambil nasi bungkus, air minum, dan beberapa cemilan dari mobil. Setelah bujukan panjang, akhirnya Ibu bersedia makan.


***


Tak lama, ponselku berdering. Kakakku menelepon, nada suaranya panik dan tak sabar.


“Gimana Bapak? Bisa dirawat di sana nggak?”


“Kamar rawat penuh, A. Tapi Bapak sudah dapat oksigen,” jawabku berusaha menenangkan.


“Gak apa-apa, lama-lamain aja biar banyak oksigennya,” katanya.


Perasaan tak menentu kembali menyerbu, sulit kujelaskan suasana dan perasaan saat itu. IGD penuh oleh pasien yang terus berdatangan, dari anak-anak hingga orang tua, semua mencari pertolongan di tengah malam. Para petugas medis, mengenakan APD dari kepala hingga kaki, bekerja tak kenal lelah. Meski wajah mereka tersembunyi, aku bisa melihat kepenatan dari tatapan mata mereka yang sayu. 


Aku tak punya pilihan selain memindahkan Bapak ke sebuah ruangan kecil yang tak terpakai, karena ruang IGD harus segera dibersihkan untuk pasien baru yang datang. Bapak tampak semakin lemah, napasnya masih pelan dan berat, sementara aku hanya bisa menggenggam tangan beliau dengan hati yang terus berdetak cemas.


***


Waktu berlalu. Malam semakin larut, jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Di sudut ruangan, Ibu bersandar pada tembok rumah sakit, tak berkata sepatah kata pun. Cahaya lampu neon yang redup membuat guratan kelelahan di wajahnya semakin jelas. Kemudian, perlahan-lahan, Ibu berbisik padaku.


“Nak… Ayo kita pulang saja, ya. Bawa Bapak, rawat di rumah saja…” ucapnya lirih, suaranya seakan menahan tangis yang sejak tadi tertahan.


Aku menelan kepahitan itu. “Iya, Bu… Karena di sini juga kita nggak dapat kamar rawat inap,” jawabku lemas, kecewa bercampur pasrah.


Dalam kebersamaan yang penuh kesedihan ini, kami pun bertekad membawa pulang Bapak, berjuang dari rumah demi menjaga harapan yang tersisa.

Related Posts:

  • Melanjutkan HidupSudah lebih dari tiga tahun berlalu sejak Bapak dipanggil ke haribaan Ilahi, meninggalkan kami dalam duka yang tak kunjung pudar. Banyak yang mengatakan bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya, tapi bagiku, waktu hanya menyis… Read More
  • Kecewa - Part 4Di IGD Rumah Sakit Islam, kami disambut oleh tim medis yang bergerak cepat, membawa Bapak masuk dengan penuh kehati-hatian. Para tenaga medis mengenakan APD lengkap, terlihat tegas namun tak berwajah, hanya mata mereka yang m… Read More
  • Istirahat - Part 5Setelah menyuapi Bapak dengan bubur yang kupesan lewat aplikasi, aku menyaksikan betapa lemah kondisinya. Ia hanya sanggup menelan tiga sendok bubur, lalu tampak begitu kelelahan. Hati ini mencelos, terlebih ketika Bapak beru… Read More
  • Siap merawat - Part 6Minggu, 27 Juni 2021Pagi itu, terasa sunyi dan penuh ketegangan yang menyelinap di antara helaan nafasku. Saat kubuka mata, sekilas aku berharap pagi ini akan memberikan sedikit harapan, bahwa mungkin hari ini akan lebih baik… Read More
  • Dimana Rumah Sakit?? - Part 3Dalam perjalanan pulang membawa obat, pikiranku terus melayang-layang tanpa arah. Perasaanku tak menentu, berkecamuk dengan rasa cemas, khawatir, bahkan takut. Udara malam yang dingin terasa semakin menusuk di dalam mobil, se… Read More

0 komentar:

Posting Komentar