Dalam perjalanan pulang membawa obat, pikiranku terus melayang-layang tanpa arah. Perasaanku tak menentu, berkecamuk dengan rasa cemas, khawatir, bahkan takut. Udara malam yang dingin terasa semakin menusuk di dalam mobil, seolah ikut menyerap harapan yang berusaha keras aku pertahankan. Lalu tiba-tiba, ponselku berdering, memecah lamunan itu.
"Halo, Bu?"
“Nak, infusan bapak dilepas. Sudah dapat obatnya belum? Cepat ke sini, ya,” suara ibu terdengar cemas, ada nada panik yang tak biasa.
“Loh, kok bisa dilepas, Bu? Kenapa?” tanyaku, kaget dan bingung.
“Ibu nggak ngerti, dokter yang lepas.”
Aku menghela napas panjang. Perasaan marah, kecewa, dan sedih bercampur jadi satu. Sudah kondisi begini sulit, kenapa keadaan harus jadi semakin membingungkan? Tanpa pikir panjang, aku meminta sopir mempercepat laju mobil, berharap bisa segera sampai di klinik.
***
Begitu sampai di klinik, aku langsung bergegas ke kamar Bapak. Di sana, beliau masih terbaring lemas, dengan mata yang terpejam dan napas yang terdengar pelan. Melihatnya dalam kondisi seperti ini membuat hatiku mencelos. Kakakku segera menghampiri dokter untuk mencari tahu alasan infus dilepas. Sementara itu, aku berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Bapak yang terlihat semakin kurus.
Dalam hati, aku terus berdzikir, berdoa, berharap keajaiban segera datang. Aku mencoba membujuk Bapak untuk makan, memotong roti kecil-kecil. Setelah usaha keras, akhirnya dua suap roti berhasil masuk, tapi di suapan ketiga, Bapak menggelengkan kepala, menolak. Rasa sakitnya jelas tampak dari raut wajahnya. Aku tidak peduli lagi soal risiko tertular, hanya menjaga jarak sebatas protokol, tapi tak ragu untuk mendekatkan diri, berharap bisa menguatkannya dengan cara apa pun.
Tak lama, kakakku kembali. Dari penjelasan dokter, ternyata memang ada peraturan: pasien tidak boleh diinfus lebih dari delapan jam. Kami tidak tahu apa pun soal aturan medis, hanya bisa pasrah dan menurut. Setelah berdiskusi singkat dengan ibu, kami sepakat memindahkan Bapak ke rumah sakit, berharap di sana beliau bisa mendapat perawatan yang lebih baik.
***
Kami mengangkat Bapak ke dalam mobil, aku menahan napas melihat kondisinya yang semakin lemah, seakan kehilangan seluruh tenaga. Mobil melaju kencang menuju RS Mandaya, rumah sakit besar yang dikenal memiliki fasilitas lengkap di kota kami. Saat itu, kami tak lagi memikirkan soal biaya; yang ada di benak kami hanya bagaimana memastikan Bapak bisa mendapat penanganan yang layak.
Sesampainya di RS Mandaya, kami segera menuju IGD. Satpam dan tenaga medis sudah berdiri di depan pintu, siap menerima pasien. Aku turun, menjelaskan kondisi Bapak, berharap mereka bisa memberikan ruang perawatan untuknya. Tapi harapan itu perlahan pudar ketika seorang tenaga medis menyampaikan kabar buruk.
"Maaf, saat ini kamar penuh. Semua pasien di sini juga sedang dirawat karena Covid-19."
Kulihat IGD dipenuhi pasien yang terbaring di tandu, sebagian masih menunggu penanganan. Bahkan ruang darurat mereka sudah penuh sesak. Tak ada pilihan, kami pun melanjutkan pencarian, meski kelelahan dan rasa kecewa terus mengiringi langkah kami.
Di sepanjang jalan, kami kebingungan hendak menuju rumah sakit mana lagi. Kami sempat menghubungi seorang saudara yang punya klinik untuk meminta bantuannya, tapi ternyata kliniknya tutup karena ia juga tengah sakit. Setiap rumah sakit yang kami hubungi menyampaikan jawaban yang sama: penuh.
Di tengah rasa putus asa, mobil kami melewati RS Islam. Kami memutuskan untuk mencoba sekali lagi, memutar arah ke pintu masuk rumah sakit itu. Di sana, sebuah pamflet besar bertuliskan "Wilayah Khusus Pasien Covid" menyambut kami. Tulisan itu memberikan secercah harapan. Kami berharap di sini, di tempat terakhir ini, Bapak bisa mendapat perawatan yang selama ini kami cari.
0 komentar:
Posting Komentar