Aku melangkah pelan memasuki kamar Bapak di klinik—ruang sempit berukuran tiga kali empat meter, dengan jendela kecil yang hanya membiarkan sedikit udara segar masuk. Suasana kamar itu tak ubahnya seperti kost-kostan sederhana; perabotannya seadanya, dan udara di dalamnya terasa pengap. Di atas ranjang, Bapak terbaring lemah, matanya terlihat sayu, seperti tengah berjuang melawan rasa sakit yang tak tertahankan. Aku berhenti sejenak, menjaga jarak, ingat bahwa Bapak positif Covid.
Dari jarak sekitar satu meter, kulihat Bapak menatapku. Namun, tak ada senyum seperti biasanya, tak ada sapaan lembut. Hanya pandangan kosong, bisu, yang membuat hatiku semakin ciut. Aku ragu-ragu, tapi pada akhirnya tak kuasa menahan diri. Aku mendekat, tak peduli lagi dengan jarak, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.
"Pak, ini aku... Bapak sudah makan?" tanyaku pelan, nyaris berbisik.
Namun, tak ada jawaban. Bapak hanya menatap lurus, seolah pertanyaanku hanyalah angin yang berlalu. Di tengah kecemasan itu, perutku mulai keroncongan, mengingatkan bahwa sejak pagi tadi aku belum makan. Aku melirik ke arah ibu, yang duduk diam di sudut ruangan, tampak pucat dan lelah. Tanpa pikir panjang, aku mengajak kakakku keluar untuk mencari makanan, agar bisa membawakan sesuatu untuk Bapak dan ibu.
Kami akhirnya menemukan warung nasi padang. Dua bungkus kubeli, masing-masing untuk Bapak dan ibu, sementara aku dan kakak makan di tempat. Kembali ke klinik, aku menyerahkan bungkusan makanan pada ibu. Namun, ia hanya menatapnya tanpa niat untuk membuka, pandangan lesu yang membuatku semakin khawatir. Nafsu makannya tampak hilang sama sekali, meski aku tahu ia pasti belum makan apa pun sejak pagi.
Beberapa waktu kemudian, dokter datang dan memberikan resep obat untuk Bapak—tiga jenis obat, salah satunya Azithromycin, yang lain-lainnya tak begitu kuingat. Kami tak bisa menunggu lama, langsung bergegas mencari apotek terdekat. Klinik ini sederhana, hanya menyediakan fasilitas pertolongan pertama, dan kami bersyukur Bapak setidaknya bisa mendapat infus untuk mencegah dehidrasi. Tapi obat-obatan harus kami cari sendiri.
Apotek demi apotek kami sambangi, namun hasilnya nihil. Di tiap tempat, obat yang kami cari ternyata tak tersedia. Harapan kami semakin menipis, hingga akhirnya tiba di sebuah klinik yang cukup besar di daerah Rengasdengklok. Saat memasuki apoteknya, aku langsung menyodorkan resep ke petugas di balik meja.
“Wah, ini sih obat Covid,” ujarnya sambil mengernyit.
“Iya, Bu, ada tidak, ya?” tanyaku penuh harap.
Ia memeriksa daftar persediaan, lalu menggelengkan kepala. “Sayang sekali, habis. Lagipula, resep ini tulisannya tidak lengkap. Kliniknya dari mana, dokter siapa? Ga jelas ini.”
"Baik, Bu... kalau begitu saya coba cari lagi," jawabku sambil menelan kekecewaan.
Langit mulai gelap saat kami akhirnya sampai di apotek terakhir, Apotek Kidang Rangga di Rengasdengklok. Dengan lelah, kuajukan resep yang sama pada petugas apotek. Kali ini, jawaban yang kutunggu akhirnya datang.
“Azithromycin ada, Mas. Tapi cuma satu, yang dua lainnya kosong.”
“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Yang satu itu saja, terima kasih banyak,” jawabku penuh lega.
Dengan satu obat di tangan, aku berjalan kembali ke mobil di mana kakakku menunggu, tatapannya penuh harap yang tersisa. Klinik ini adalah pilihan terakhir, dan walau tak semua obat berhasil kami dapatkan, kami bersyukur setidaknya ada satu yang bisa kami bawa untuk Bapak.
0 komentar:
Posting Komentar