Minggu, 27 Juni 2021
Pagi itu, terasa sunyi dan penuh ketegangan yang menyelinap di antara helaan nafasku. Saat kubuka mata, sekilas aku berharap pagi ini akan memberikan sedikit harapan, bahwa mungkin hari ini akan lebih baik. Namun, harapan itu runtuh begitu aku melangkah menuju kamar Bapak. Tubuhnya terbaring lemah di sana, tak berdaya, dan matanya masih terpejam, seolah sedang berjuang dalam dunia yang penuh kesakitan.
Kupandangi wajahnya yang pucat, kurasakan nyeri yang lebih dalam dari sekadar sakit. Aku berjanji dalam hati, “Bapak harus sembuh. Aku akan melakukan apa saja.” Rasa perih di telapak kakiku yang lecet akibat berjalan ke sana kemari kemarin tak terasa lagi, lelah di tubuhku terabaikan—hanya ada tekad kuat di hatiku. Dengan masker seadanya, aku mendekati Bapak, mencoba menyuapinya. Setiap sendok yang masuk, terasa berat, seakan Bapak berusaha keras hanya untuk bisa menelan.
Setelah sarapan sederhana itu, aku menyiapkan obat-obatan yang diberikan oleh rumah sakit kemarin. Saat Bapak menelan pil-pil tersebut, kurasakan secercah kelegaan, berharap mereka bisa membawa sedikit kesembuhan. Setelahnya, Bapak kembali merebahkan tubuhnya, diam dan tenang, sementara aku duduk di sampingnya, menatap wajah yang selalu kukagumi, kini terlihat begitu ringkih.
***
Menulis cerita ini, mengingat kembali kejadian demi kejadian yang terluka, begitu menyakitkan. Berat rasanya mengukir kata demi kata yang kembali menyeretku pada saat-saat penuh pedih itu. Hari pertama di rumah, sempat ada secercah harapan. Kondisi Bapak cukup stabil, saturasi oksigen masih terjaga, bahkan ia masih bisa makan dan minum. Pada hari ketiga, meski harus kupapah, Bapak bahkan sempat ke kamar mandi.
Namun, perlahan, semuanya berubah. Kesehatannya merosot tajam. Aku tak sanggup menuliskan detilnya di sini. Setiap ingatan terasa seperti menambah luka, rasa sesal dan amarah menyatu, membuat hatiku terasa sesak. Aku berharap ada yang bisa menanggung rasa sakit ini bersamaku, tapi aku tahu, hanya ada aku dan keheningan pagi.
Selama masa-masa itu, tiada henti aku memanjatkan doa. Di sela waktu istirahat, dalam keheningan malam, aku berdoa dengan penuh kepasrahan, meminta agar apapun yang kumiliki, semua amal dan pahala yang telah kukumpulkan, bisa menjadi penebus kesembuhan Bapak. Perasaan panik dan takut terus menghantuiku. Aku tak siap, tapi aku harus bertahan.
Aku mulai membeli peralatan medis yang kubutuhkan untuk merawatnya: oxymeter untuk memeriksa saturasi oksigen, termometer untuk mengukur suhu tubuhnya, tensimeter untuk memantau tekanan darahnya. Semua alat itu ada di sana, di sampingku, seakan menjadi saksi bisu perjuangan dan ketakutanku. Setiap detik yang berlalu, semakin kurasakan, ini bukan hanya ujian kesehatan, tapi ujian iman, ujian cinta seorang anak kepada ayahnya yang tengah bertarung antara hidup dan mati.
0 komentar:
Posting Komentar